Skip to main content

Belajar mental health perlu gak sih?

 Assalamu'alaykum teman2,


Bermula dari mood swing yang terjadi dikarenakan pre menstrual syndrome jaga kemarin adalah jaga yang dipenuhi perasaan. Merasa gak enak hati lagi sering-seringnya terjadi, terutama pos jaga bagai qudha. Kemarin lagi-lagi merasa gak enak hati muncul, hanya gara-gara celetukan beberapa orang yang harusnya biasa-biasanya aja. Memulai hari dengan tenang, menjelang malam saya mulai tidak mood untuk jaga. Nafsu makan berkurang, sampe gak makan sama sekali. Tapi gimanapun juga harus tetep profesional saat periksa pasien kan?

Mencoba menjadi profesional, kemarin nampaknya cukup sulit buat saya. Berharap pasien tidak terlalu banyak tanya, kasus-kasus mudah, atau bahkan pasien-pasien yang diharapkan kooperatif. Nyatanya kemarin pasien-pasien cukup membuat mood saya semakin buruk. Hingga saya bertemu dengan salah satu pasien dengan keluhan perut yang pada akhirnya setelah mengobrol lama ternyata pasien saya mengalami gejala-gejala depresi. Dia mengakui ada usaha untuk bunuh diri, hampir saja mau nangis waktu bilang "saya banyak trauma dok"

hmmmmm, sungguh saya merasa menjadi manusia yang gak bisa bersyukur. Sudah diberikan semua diberikan jiwa yang insyaaAllah kuat, kenapa hanya hal-hal sepele langsung menjadi tempe? Gimana dengan pasien-pasien saya yang selama ini sering mengalami gejala simptomatik? gimana pasien-pasien saya yang sampai menangis tersedu mencertikan kisahnya yang lebih tragis. Hah, ada rasa bersalah karena tidak menjadi dokter yang lebih baik.

Berikutnya, saya menemukan pasien dengan gejala cemas yang berlebihan. to be honest semua hapalan DSM-V untuk diagnosis penyakit-penyakit kelainan jiwa sudah terlupakan :(, jadi saya gabisa langsung mendiagnosis begitu aja. Pasien yang ini tampak sekali kecemasan ketika berkonsultasi dengan saya, pasien juga sempat mengeluhkan setiap merasakan kelainan pada badannya dia langsung kepikiran. Hari itu nampaknya saya menemukan 2 pasien unik yang hanyalah contoh dari pasien-pasien dengan isu mental health yang pernah saya tangani. Sayang sekali dlu menjalani stase jiwa dengan setengah hati, mungkin niat hati ingin membantu, tapi ilmu belum cukup. Jadi kepikiran bahwa mental health itu adalah salah satu hal penting yang perlu dipelajari oleh kita sebagai dokter. 

Seringkali menemukan pasien-pasien yang sebenarnya masalahnya bukanlah masalah organik tapi masalah "kejiwaan". Jadi inget kata dr. Fita, SpOG bahwa kita harus perhatian sama pasien. Atau kata dr Yusuf, SpJp yang harus menyikapi pasien dengan baik. UUhhh, aku kangen masa2 koas, masa2 penuh dengan pembelajaraan. Jadi dokter apapun kita, umum, obgyn, jiwa, anak, penyakit dalam, jantung, dll lebih baik membekali ilmu mengenai mental health nampaknya sangat penting. At least, kita bisa belajar merespon mereka dengan benar.


Semoga dirahmati teman-teman!



Hei

Comments

Popular posts from this blog

.

 Assalamu'alaikum, Alhamdulillah masih ada waktu walau sedikit untuk menuliskan semua gundah gulana di hati (cielah). Ternyata setelah 1 tahun setelah berada di tempat yang asing, hari-hari terasa lebih cepat berlalu dibandingkan 1 tahun pertama. Aku yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar (sapi yang berkeliaran, sampah yang harus dibakar, atau cuaca yg berubah-ubah seperti hatiku yang berubah-ubah). Aku jadi lebih enjoy dan lebih pasrah menangani pasien yang attitudenya membuat sakit hati (gak semuanya ya), menghadapi ketokan-ketokan maut yang bikin kaget, sabar menghadapi perawat atau bidan yang sering miss komunikasi denganku, atau menghadapi orang-orang yang unik. Semuanya menjadi lebih baik lagi setelah aku memutuskan untuk praktek di apotik teman, yang kemudian mengantarkanku mengenal banyak orang yang ternyata asik. Kegiatan-kegiatan IDI juga membuatku lebih bersemangat belajar. Ternyata berkenalan, sharing, dan saling konsul dengan teman sejawat itu bisa menjadi mo

Mencoba hidup sehat versi Heidi 2

Setelah 1 tahun menjadi vegan dengan cheating day ku sehari setiap minggu. Aku akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi manusia omnivora, alasannya karena ditempat ku tinggal sekarang, jenis sayuran sangat terbatas dan sulit untukku memenuhi kebutuhan gizi ku. Anyways aku akan tulis tentang beberapa penelitian mengenai vegetarian di next tulisan blog ku. Oiya, vegetarian dan vegan itu beda ya. Vegetarian adalah hanya makanan sayur (plant-based) dan tidak makan hewani, contoh daging ayam, sapi, ikan tapi masih mengonsumsi makanan-makanan yang asalnya dari hewani, contoh telur, susu, keju, madu. Nah kalau vegan tidak mengonmsi makanan jenis apapun yang berasal dari hewani. Kesimpulanya vegan hanya makan sayur dan buah-buahnya saja.  Kalau aku sendiri pengalaman jadi vegan itu benar-benar mendetok tubuhku. Nafsu makan sama makan-makanan receh pun berkurang dratis setelah memutuskan jadi vegan. Tapi, berat badan bukan lagi jadi tujuan utama. Karena kalau fokus sama BB kita hanya fokus sam

Mencoba hidup sehat versi Heidi

 Assalamu'alaikum,  Akhir-akhir ini masyarakat sudah banyak yang sadar dan "mencoba" pola hidup sehat, terutama di daerah perkotaan. Alih-alih ingin sehat, turunnya timbang badan juga merupakan tujuan utama orang-orang mengubah pola hidupnya. Sejak tahun 2018 begitu pindah dari kota belajarku tercintah (Purwokerto) ke Jakarta. Aku mengalami perubahan dratis pola makan, menjadi sangat tidak sehat. Minuman boba, es kopi ala2 kenangan masa lalu yang suram, atau fast food yang tinggal kepeleset dapet membuatku kalap. Dari yang setiap minggu lari sore menjadi setiap minggu minum boba dan makan gorengan, Berat badanku yang masih di angka 50an melonjak dratis ke angka 60an. Sampai-sampai masalah jerawat yang sudah solved tiba-tiba muncul lagi dan muncul berbagai macam alergi kulit lainnya. Antibiotik yang awalnya fine2 aja tiba2 bikin alergi. Sampai pada akhirnya tubuhku memborantak, luka kecil di kaki berubah jadi eksim parah yang menyerang seluruh tubuh, sampai banyak yang men