Skip to main content

Rehat (antara cita-cita dulu dan keinginan saat ini)

Rehat sebentar adalah kata-kata paling tepat yang sedang sy lakukan saat ini. Setelah memilih resign dari klinik dan kehidupan magang yang sangat menyenangkan, kembali ke Bandung (ralat : Cimahi, hehe) adalah tujuan pertama saya.


Hidup tanpa dikejar waktu untuk pergi praktek atau kerja bagai kuda pulang praktek langsung magang. Istirahat sejenak, walau hari-hari tetap disibukkan dengan agenda pembekalan, tugas menumpuk, atau sessions with Mr Beni (ielts private). Ternyata istirahat diperlukan untuk orang-orang kerja bagai kuda seperti sy, akhir-akhir sebelum akhirnya resign ini bertemu pasien memerlukan banyak usaha untuk mengumpulkan niat, mengumpulkan banyak kesabaran untuk mengurangi emosi yang kadang timbul tak jelas alasannya. Entah karena memang lelah atau merasa tak sanggup dan bermental cemen karena sebuah masalah tempo lalu. Sebagian teman berpendapat bahwa aku melarikan diri, sebagian lagi berpendapat bahwa masa penyembuhan seseorang berbeda-beda dan  bisa memang lari adalah caranya mengapa tidak Setelah dipikir-pikir saya tidak pernah benar-benar lari dari masalah, saya melurukan dulu masalahnya, baru pergi sejauh mungkin untuk belajar melupakan masalahnya dan tentu belajar dari masalahnya.


Banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul, (memang suudzon kepada Allah itu sangat mudah!). Mulai dari perasaan sedih karena berkurangnya semangat bertemu dengan pasien, dan pertanyaa yang muncul di kepada diri sendiri 

"Bisakah saya jadi seoran surgeon kalau tidak suka bertemu dengan pasien?"

"Apa yang sebenarnya saya butuhkan saat ini? Tindakan? atau rehat?"

Buat saya disaat jenuh mulai terasa ketika saya melakukan kerja praktik yang cukup lama, melakukan tindakan seperti pembersihan luka, penjahitan, dll adalah sebuah refreshing

"Kapan sekolah? aku bisa sekolah gak ya? terus nikahnya kapan? Kalau punya rumah kapan?"


Sampai sebuah pengumuman memberikan saya kesempatan untuk mengabdi, mengabdi kearah timur, sesuai dengan keinginan saya. Lagi-lagi, keraguan muncul. Membandingkan antara tetap di Jakarta dekat dengan orang tua, fasilitas lengkap, fee menjanjikan atau pergi ke daerah sana jauh dari orang tua, fasilitas seadaanya walaupun fee dapat dibilang menjajikan juga. Apalagi setelah adik pergi dari rumah, mama sering tinggal sendiri di rumah, menjadikan faktor pemberat saya untuk mengabdi. Mendengar pendapat kanan-kiri membuat saya semakin diliputi keraguan. Tapi ternyata dukungan dan nasihat dari kawan-kawan lebih banyak saya dapatnya, pernah saya bercerita kepada seorang teman,

"Kak gw takut, gw mengalami quarter life crisis deh"

"Lah, ini kita uda sama2 mengalami hei, ini lo lg mengalami"

"Tapi gw takut, gw mengalami lagi setelah mengabdi"

"Gak lah hei, lo mengabdi membantu orang banyak"

atau percakapan-percakapan tiap malam senin bersama salah satu teman yang sedang mengambil jalur beasiswa MPH di Thailand (semoga Allah mempermudah dan mengijabah doamu ya Naf!)

"Hei, mungkin memang momentnya ya tuh ya sekarang, kalau dulu-dulu mungkin (kita) belum sanggup"

"Ya bener jg sih dulu gw masih sangat insecure-an, untrained, dan mental cemen dibanding sekarang."

Ditambah percakapan dengan sahabat Juli tercinta yang tiba-tiba jadi wise banget (I Love u so much Juli mate!)

"Mungkin memang jalan lo kesitu dulu, kalau ini jalannya pasti dipermudah kok sama Allah, keluar dari zona nyaman bukan sesuatu yang baru lah bagi lo, waktu lo gakan sia-sia, semua itu waktu nya tepat, nikmatin aja ini proses, bersyukur ntr Allah lipatgandain nikmat lo,  jangan kufur ntr lo kena azab, jangan sok2 nangis kan ada video call, Allah tau mana yg baik gada satu pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah, ragu tuh yang menjadikan kita manusia, berdoa dalah bagian dari rasa takut dan rasa hamba"

Serta dukungan dari bapak-bapak bos di tempat magang ataupun klinik. Tak lupa yang terpenting ridha orang tua, ridha dari ayah telah didapatkan tapi ridha dari mama baru didapatkan setelah penempatan diumumkan, WITA akan menjadi tempat saya mengabdi kelak. Berbekal itu semua saya menyakinkan diri untuk resign dan balik ke rumah orang tua sementara waktu. Sambil menunggu waktu pemberangkatan, saya berharap bisa meluruskan niat dan memantapkan tekad saya. Sebuah pesan selalu ibu saya tekankan, bahwa apa yang nanti saya jalanin harus saya lakukan dengan ikhlas. Ah, ikhlas, satu kata tapi implementasinya cukup sulit. Plus, penyemangat tambahan saya, komentar dr. Yusuf, SpJP di postingan blog saya dan nasihat beliau selama saya mendampingi praktik beliau kurang lebih 9 tahun yll, masih jelas teringat bahwa keikhlasan adalah kunci utama, senyum salam sapa, ikhlas hei ikhlas..


Yang sedang belajar untuk ikhlas,



Heidi DM

Comments

Popular posts from this blog

Mencoba hidup sehat versi Heidi 2

Setelah 1 tahun menjadi vegan dengan cheating day ku sehari setiap minggu. Aku akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi manusia omnivora, alasannya karena ditempat ku tinggal sekarang, jenis sayuran sangat terbatas dan sulit untukku memenuhi kebutuhan gizi ku. Anyways aku akan tulis tentang beberapa penelitian mengenai vegetarian di next tulisan blog ku. Oiya, vegetarian dan vegan itu beda ya. Vegetarian adalah hanya makanan sayur (plant-based) dan tidak makan hewani, contoh daging ayam, sapi, ikan tapi masih mengonsumsi makanan-makanan yang asalnya dari hewani, contoh telur, susu, keju, madu. Nah kalau vegan tidak mengonmsi makanan jenis apapun yang berasal dari hewani. Kesimpulanya vegan hanya makan sayur dan buah-buahnya saja.  Kalau aku sendiri pengalaman jadi vegan itu benar-benar mendetok tubuhku. Nafsu makan sama makan-makanan receh pun berkurang dratis setelah memutuskan jadi vegan. Tapi, berat badan bukan lagi jadi tujuan utama. Karena kalau fokus sama BB kita hanya fokus...

Say no to "Uda biasa ko" pada hal-hal yang buruk !

  Tulisan saya didedikasikan untuk pengalaman pribadi saya yang muak dengan orang-orang yang percaya dengan “kebiasaan” hal buruk, yang muak dengan orang-orang malas yang tidak mau keluar dari zona nyamannya, yang kesal dengan diri saya sendiri yang ternyata masih stuck disitu-situ saja. Kebiasaan buruk, seperti buang sampah sembarang, simpan barang sembarangan, atau bahkan tidak mengembalikan sesuatu ke tempat asal adalah hal sepele yang sangat berdampak besar. Kebiasaan seperti ini seharusnya tidak tumbuh di kalangan petugas kesehatan. Mulai dari dokter sampai dengan pahlawan kesehatan yang menurut saya sangaat penting, yaitu cleaning service. Bukankah dalam mewujudkan kesehatan bersama perlu didahului dengan kesehatan individu? Maksud saya disini adalah kepedulian individu terhadap kesehatan itu sendiri.   Saya adalah orang yang percaya bahwa kesehatan diawali dari hal-hal yang bersih. Dalam prinsip aseptic anti septic yang kami lakukan saat melakukan tindakan steril,...

?

Jadi, senin sore, 15 Juni 2015 aku masih ngeliatin foto itu. Masih, di sela-sela waktu kami mengobrol hal yg prognosisnya dubia et bonam (semoga aja bonam). "Semangat hei" kata Fita sama Fifi. "I'm Okay" jawabku, dan memang lagi baik-baik aja, setidaknya saat itu, saat aku memang harus baik-baik aja. Tapi aku gaktau beberapa bulan lagi, atau beberapa tahun lagi waktu aku lihat foto itu, aku bakal tetep baik-baik aja atau enggal. Satu hal yang aku tau banget dari diriku adalah aku bisa mengotrol diriku (baca=perasaan, mood) sekarang, tapi aku ga bisa memastikan aku bisa mengontrol masa depan. Pengertian rumitnya adalah aku bisa mengontrol diriku saat ini pada sesuatu hal yg terjadi padaku dengan keadaan yang memang bisa mendukungku, tapi di saat aku menghadapi hal itu lagi atau cuman sekedar mengingat hal itu di masa depan aku bisa galau tingkat dewa. Jadi, aku bisa mengotrol sekarang, tapi aku ga bisa memastikan aku bisa mengontrol masa depan. Jadi (lagi), mu...