25 Februari 2021, sebuah pesan singkat dari mbak Tina MER-C meminta bantuanku untuk ikut dalam kegiatan pengobatan di Karawang/Cikampek yang belum tersentuh bantuan medis. Rencana pengobatan adalah dua hari, Sabtu dan Minggu.
"Maaf mbak, aku cuman bisa hari Minggu, Sabtu ada jaga"
"Baik aku lock dulu ya"
Sudah beberapa kali sejak pandemik saya harus menolak ajakan menjadi relawan MER-C karena alasan jaga, ah kini mencari uang menjadi alasan menolak menjadi relawan. Bukankah dulu tujuan menjadi dokter adalah menjadi relawan? Semoga Tuhan memaafkan niat yang sudah jauh melenceng. Besar harapan dihati saya saat itu, agar bisa menjadi relawan, harapan agar jadwal pengobatan dipindah atau dipersingkat menjadi 1 hari, karena saat itu sulit untuk mencari pengganti jaga terutama hari Sabtu.
Beberapa hari kemudian mbak Tina menelepon meminta ku menjadi relawan di hari Minggu, hanya hari Minggu karena relawan lain juga cukup sibuk untuk meluangkan 2 hari. 28 Februari 2021, sekitar pukul 08.00 kurang kami berangkat, bersama dengan tim medis dan non medis. Ah, lama rasanya tidak berkunjung ke kantor pusat, bertemu dengan mba Ita, teh Iis, dan teman-teman medis dan non medis yang baru saya kenal, mas Edi (perawat), mas Ozy (non medis), suami mbak Tina (maafkan nama bapak terlalu susah sy ingat, padahal sudah saya ulang2 terus dikepala) dan yang saya kagum adalah pasangan suami istri, alih-alih menghabiskan waktu weekendnya bersama keluarga malah berkumpul bersama kami dan harus menitipkan anaknya untuk menjadi relawan. Iri, itu yang muncul dalam hati saya. Semoga kelak Tuhan menemukan saya dengan laki-laki yang dengannya saya bisa menghabiskan waktu bersama-sama berbuat kebaikan dan membantu banyak orang. Aamiin.
Pasangan itu adalah dr Dani, SpBS dan istrinya Bd. Putri (saya takut salah sebut nama semoga tidak salah) menjadi duo tim medis yang saya diolakan. Sedangkan saya waktu itu didampingi oleh mas Edi dan Mba Ita (perawat) yang membersihkan pasien dengan vulnus (luka). Kurang lebih 2 jam kami sampai di posko Al-Fatah, bersama dengan rombongan mereka, sambil menaiki mobil tipe ranger, kami melewati banjir setinggi patella orang dewasa. Karang taruna desa Karang Segar harus menuntun kami dari depan dan samping karena takut mobil masuk sawah, sungguh suasana yang menyenangkan bagi saya. Penuh keikhlasan dan persaudaraan. Teringat kenangan masa-masa menjadi relawan di longsor Banjarnegara beberapa tahun silam, saya dan teman-teman diterima dengan sangat baik oleh Batalyon Kesehatan II di posko mereka, disediakan tempat tidur, makan, sambil kami saling bercerita sedikit-sedikit.
Selama perjalanan saya melihat seorang perempuan mencuci baju dengan air sungai yang tentu sudah bercampur banjir, coklat, bau dan kotor. Miris. Padahal hanya 2-3 jam perjalanan dari Jakarta, namun ternyata masih banyak warga nya yang tidak teredukasi baik. Saya lalu membayangkan kemungkinan penyakit apa saja yang bisa terjangkit, gatal-gatal, diare, demam, atau penyakit lainnya yang penularannya secara water-borne. Saya bersyukur bisa menikmati bersihnya air dan banyaknya air yang mengalir di rumah yang saat ini saya tinggali, tidak pernah kurang bahkan cenderung berlimpah, air jernih, tidak bau, tidak juga berasa asam. Teringat bilamana musim hujan tiba, di Bandung sering kali air menjadi keruh, tapi tidak bau tidak asam tidak membuat gatal-gatal juga, tapi saya masih sering saja mengeluh kesal. Ah, memang nikmatnya bisa mengikuti kegiatan seperti ini menimbulkan rasa syukur, atas semua nikmat yand diberikan Tuhan.
Kemudian, sebelum azan zuhur kami memulai kegiatan pengobatan gratis di salah satu rumah warga, ada 2 tim, tim saya dan dr. Dany, sesekali dr. Dany pergi menjemput bola, menghampiri warga-warga yang sulit untuk datang ke tempat pengobatan. Rata-rata penyakit di sana adalah gatal-gatal dan batuk pilek, sakit maag, dan tak lupa nyanyian tersering warga Indonesia, Hipertensi (tekanan atau tensi tinggi). Sulitnya tidur, makanan seadanya dan ketakutan banjir kembali menghampiri mungkin menjadi faktor mengapa banyak sekali warga yang tensinya tinggi. Saya bisa melihat antusias masyarakat, atau wajah bingung mereka dengan penyakit yang dideritanya, ada yang nampak gelisah setiap kali menceritakan ketakutannya apabila banjir kembali menghampiri, ada yang nampak terganggu dengan penyakit gatal-gatalnya, ada yang senyum2 malu sakit perut karena hanya mengonsumsi mie beberapa hari terakhir, atau ada yang kesakitan menahan sakit di kaki karena ulkus (luka) yang semakin parah. Apakabar mereka saat ini? apakah gatal-gatalnya sudah sembuh? apakah ulkusnya sudah dirawat lagi? bagaimana dengan warga-warga yang memiliki tensi tinggi? Semoga Allah mengangkat cobaan dan penyakit yang diderita mereka.
Sebelum ashar, kami kembali ke Posko, makan siang bersama dilanjutkan membuka posko kedua. Tidak disangka-sangka ternyata warga di Posko ini cenderung banyak, posko penuh oleh warga dengan rata-rata sakit kaki, sakit badan, cenderung memiliki penyakit yang lebih ringan dibandingkan dengan posko sebelumnya. Ah saya pikir mungkin mereka tidak mau menyia-nyiakan kehadiran tenaga kesehatan. Pukul 17.30 langit mulai mendung pasien terakhir sudah diperiksa, kami segera membereskan peralatan dan kemudia berpamitan. Tidak terasa kurang lebih 200 pasien kami hadapi hari ini, semuanya saling membantu, yang sedang mengganggur membantu menyiapkan obat, yang sedang sibuk sebisa mungkin dibantu. Indah ya, sudah lama sekali rasanya, mungkin hampir lupa. Merasakan panas terik matahari, keringatan, bau kecut, menahan lapar, tapi masih bisa tersenyum kepada pasien atau bercanda bersama rekan di sana saat membantu menyiapkan obat. Kemana cita-cita saya yang dulu? cita-cita pergi ke pulau nun jauh di sana, bermodal pengetahuan dan niat membantu orang-orang.
Kini keputusan-keputusan saya menjadi lebih realistis, melihat umur, melihat kondisi, saya harus menyelaraskan semua. Dengan bantuan MERC saya tetap bisa mengikuti kegiatan kemanusiaan. Saat ini ada banyak sekali pilihan-pilihan yang mungkin akan saya ambil, entah itu mengabdi, mendaftar beasiswa, atau meneruskan pendidikan ke jenjang master, yang jelas harapan saya tahun ini adalah berhijrah, karena comfort zone ini sudah bukanlah tempat yang nyaman bagi saya. Saya harus keluar, mencari tantangan, mencari ilmu baru.
"Setiap orang punya timelinenya masing-masing" -Yudith Anindita
HDM
Aku dengan Teh Iis mengambil kesempatan berfoto |
Comments
Post a Comment